Definisi
Manajemen Konflik
Manajemen konflik
merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam
suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang
berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk
tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang
berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang
akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara
pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.
Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.
Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Fisher dkk (2001:7)
menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan
situasi secara keseluruhan.
·
Pencegahan Konflik, bertujuan untuk
mencegah timbulnya konflik yang keras.
·
Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk
mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
·
Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk
membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif
bagi pihak-pihak yang terlibat.
·
Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab
konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara
kelompok-kelompok yang bermusuhan.
·
Transformasi Konflik, mengatasi
sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah
kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang
positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.
Minnery (1980:220) juga
berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian
yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen
konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai
mencapai model yang representatif dan ideal.
Sama halnya dengan
proses manajemen konflik yang telah dijelaskan di atas, bahwa manajemen konflik
perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap
keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi
karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka
dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan
untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan
atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.
Keseluruhan proses
tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana
sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
Teori-teori Konflik
Teori-teori Konflik
a. Teori
hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
b.
Teori kebutuhan manusia
Menganggap
bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik,
mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi
inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi.
Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
c.
Teori negosiasi prinsip
Menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
d.
Teori identitas
Berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
e.
Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di
antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran:
menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain,
mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan
keefektifan komunikasi antarbudaya.
f.
Teori transformasi konflik
Berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan
yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat tiga pandangan mengenai konflik. Hal ini
disebabkan karena adanya pandangan yang berbeda mengenai apakah konflik
merugikan, hal yang wajar atau justru harus diciptakan untuk memberikan
stimulus bagi pihak-pihak yang terlibat untuk saling berkompetisi dan menemukan
solusi yang terbaik.
Pandangan
itu adalah sebagai berikut :
1. Pandangan Tradisional (The
Traditional View)
Pandangan ini menyatakan bahwa semua
konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan
harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan
dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
2. Pandangan Hubungan Manusia (The
Human Relations View)
Pandangan ini berargumen bahwa
konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan
organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu
keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa
sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist
View)
Pandangan ini cenderung mendorong
terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif,
tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif,
dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik
perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
Manajemen Konflik Pada Organisasi
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan khususnya dalam organisasi, di mana banyak orang dengan pikiran yang berbeda-beda berkumpul menjadi satu. Hal ini disebabkan karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik. Perubahan institusional yang terjadi, baik direncanakan atau tidak, tidak hanya berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat.
Konflik yang sudah terjadi juga bisa diselesaikan lewat perundingan. Cara ini dilakukan dengan melakukan dialog terus menerus antar kelompok yang berkonflik untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum yang menguntungkan kedua belah pihak. Melalui perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan ditentukan penyelesaian yang paling memuaskan.
Gaya
perundingan untuk mengelola konflik dapat dilakukan dengan cara :
1. Pencairan, yaitu dengan melakukan
dialog untuk mendapat suatu pengertian.
2. Keterbukaan, pihak-pihak yang
terlibat bisa jadi tidak terbuka apalagi jika konflik terjadi dalam hal-hal
sensitif dan dalam suasana yang emosional.
3. Belajar empati, yaitu dengan melihat
kondisi dan kecemasan orang lain sehingga didapatkan pengertian baru mengenai
orang lain.
4. Mencari tema bersama, pihak-pihak
yang terlibat dapat dibantu dengan cara mencari tujuan-tujuan bersama.
5. Menghasilkan alternatif, hal ini
dilakukan dengan jalan mencari alternatif untuk menyelesaikan persoalan yang
diperselisihkan.
6. Menanggapi berbagai alternatif,
setelah ditemukan alternatif-alternatif penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik mempelajari dan memberikan tanggapan.
7. Mencari penyelesaian, sejumlah
alternatif yang sudah dipelajari secara mendalam dapat diperoleh suatu
konsensus untuk menetapkan suatu penyelesaian.
8. Membuka jalan buntu, kadangkala
ditemukan jalan buntu sehingga pihak ketiga yang obyektif dan berpengalaman
dapat diikutsertakan untuk menyelesaikan masalah.
9. Mengikat diri kepada penyelesaian di
dalam kelompok, setelah dihasilkan penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak
yang terlibat dapat memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan mengikatkan
diri pada penyelesaian itu.
10. Mengikat seluruh kelompok, tahap
terakhir dari langkah penyelesaian konflik adalah dengan penerimaan atas suatu
penyelesaian dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
Langkah-langkah Manajemen Untuk Menangani Konflik
1. Menerima dan
mendefinisikan pokok masalah yang menimbulkan ketidak puasan
Langkah ini sangat penting karena kekeliruan dalam mengetahui masalah yang sebenarnya akan menimbulkan kekeliruan pula dalam merumuskan cara pemecahannya.
Langkah ini sangat penting karena kekeliruan dalam mengetahui masalah yang sebenarnya akan menimbulkan kekeliruan pula dalam merumuskan cara pemecahannya.
2. Mengumpulkan
keterangan/fakta
Fakta yang
dikumpulkan haruslah lengkap dan akurat, tetapi juga harus dihindari
tercampurnya dengan opini atau pendapat. Opini atau pendapat sudah dimasuki
unsur subyektif. Oleh karena itu pengumpulan fakta haruslah dilakukan denganm
hati-hati.
3.
Menganalisis dan memutuskan
Dengan
diketahuinya masalah dan terkumpulnya data, manajemen haruslah mulai melakukan
evaluasi terhadap keadaan. Sering kali dari hasil analisa bisa mendapatkan berbagai
alternatif pemecahan.
4.
Memberikan jawaban
Meskipun
manajemen kemudian sudah memutuskan, keputusan ini haruslah dibertahukan kepada
pihak karyawan.
5.
Tindak lanjut
Langkah ini
diperlukan untuk mengawasi akibat dari keputusan yang telah diperbuat.
6.
Pendisiplinan
Konflik dalam organisasi apabila tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan tindakan pelecehan terhadap aturan main yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu pelecehan ataupun pelanggaran terhadap peraturan permainan (peraturan organisasi) haruslah dikenai tindakan pendisiplinan agar peraturan tersebut memiliki wibawa.
Konflik dalam organisasi apabila tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan tindakan pelecehan terhadap aturan main yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu pelecehan ataupun pelanggaran terhadap peraturan permainan (peraturan organisasi) haruslah dikenai tindakan pendisiplinan agar peraturan tersebut memiliki wibawa.
Sumber Konflik
Terdapat beberapa hal yang melatar belakangi
terjadinya konflik. Agus M. Hardjana mengemukakan sepuluh penyebab munculnya
konflik , yaitu:
a. Salah pengertian atau salah paham
karena kegagalan komunikasi.
b. Perbedaan tujuan kerja karena
perbedaan nilai hidup yang dipegang.
c. Rebutan dan persaingan dalam hal
yang terbatas seperti fasilitas kerja dan jabatan.
d. Masalah wewenang dan tanggung jawab.
e. Penafsiran yang berbeda atas satu
hal, perkara dan peristiwa yang sama.
f. Kurangnya kerja sama.
g. Tidak mentaati tata tertib dan
peraturan kerja yang ada.
h. Ada usaha untuk menguasai dan
merugikan.
i.
Pelecehan
pribadi dan kedudukan.
j.
Perubahan
dalam sasaran dan prosedur kerja sehingga orang menjadi merasa tidak jelas
tentang apa yang diharapkan darinya.
Stoner sendiri menyatakan bahwa penyebab yang menimbulkan terjadinya konflik adalah :
a. Pembagian sumber daya (shared
resources).
b. Perbedaan dalam tujuan (differences
in goals).
c. Ketergantungan aktivitas kerja
(interdependence of work activities).
d. Perbedaan dalam pandangan (differences
in values or perceptions).
e. Gaya individu dan ambiguitas
organisasi (individual style and organizational ambiguities).
Untuk itulah Robbins kemudian memusatkan perhatian pada sumber konflik organisasi yang bersifat struktural. Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan Robbins, yaitu:
a. Saling ketergantungan pekerjaan.
b. Ketergantungan pekerjaan satu arah.
c. Diferensiasi horizontal yang tinggi.
d. Formalisasi yang rendah.
e. Ketergantungan pada sumber bersama
yang langka.
f. Perbedaan dalam kriteria evaluasi
dan sistem imbalan.
g. Pengambilan keputusan partisipatif.
h. Keanekaragaman anggota.
i.
Ketidaksesuaian
status.
j.
Ketakpuasan
peran.
k. Distorsi komunikasi.
Penyebab Timbulnya Konflik
Faktor-faktor
yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu organisasi antara lain adalah
:
1.
Berbagai sumber daya yang langka
Karena sumber daya yang dimiliki
organisasi terbatas / langka maka perlu dialokasikan. Dalam alokasi
sumber daya tersebut suatu kelompok mungkin menerima kurang dari kelompok yang
lain. Hal ini dapat menjadi sumber konflik.
2.
Perbedaan dalam tujuan
Dalam suatu organisasi biasanya terdiri dari atas berbagai macam bagian
yang bisa mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan tujuan dari berbagai
bagian ini kalau kurang adanya koordinasi dapat menimbulkan adanya konflik.
Sebagai contoh : bagian penjualan mungkin ingin meningkatkan valume penjualan
dengan memberikan persyaratan-persyaratan pembelian yang lunak, seperti kredit
dengan bunga rendah, jangka waktu yang lebih lama, seleksi calon pembeli yang
tidak terlalu ketat dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh bagian penjualan
semacam ini mungkin akan mengakibatkan peningkatan jumlah piutang dalam tingkat
yang cukup tinggi. Apabila hal ini dipandang dari sudut keuangan, mungkin tidak
dikehendaki karena akan memerlukan tambahan dana yang cukup besar.
3.
Saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan
Organisasi merupakan gabungan dari berbagai bagian yang saling
berinteraksi. Akibatnya kegiatan satu pihak mungkin dapat merugikan pihak lain.
Dan ini merupakan sumber konflik pula. Sebagai contoh : bagian akademik telah
membuat jadwal ujian beserta pengawanya, setapi bagian tata usaha terlambat
menyampaikan surat pemberitahuan kepada para pengawas dan penguji sehingga
mengakibatkan terganggunya pelaksanaan ujian.
4.
Perbedaan dalam nilai atau persepsi
Perbedaan dalam tujuan biasanya dibarengi dengan perbedaan dalam sikap,
nilai dan persepsi yang bisa mengarah ke timbulnya konflik. Sebagai contoh :
seorang pimpinan muda mungkin merasa tidak senang sewaktu diberi tugas-tugas
rutin karena dianggap kurang menantang kreativitasnya untuk berkembang,
sementara pimpinan yang lebih senior merasa bahwa tugas-tugas rutin tersebut
merupakan bagian dari pelatihan.
5.
Sebab-sebab lain
Selain
sebab-sebab di atas, sebab-sebab lain yang mungkin dapat menimbulkan konflik
dalam organisasi misalnya gaya seseorang dalam bekerja, ketidak jelasan
organisasi dan masalah-masalah komunikasi.
Penanganan Konflik
Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik
·
Mengurangi konflik
·
Menyelesaikan konflik
Pada metode
pengurangan konflik salah satu cara yang sering efektif adalah dengan
mendinginkan persoalan terlebih dahulu. Meskipun demikian cara semacam ini
sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat
“musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk
menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan
perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.
Dengan
metode penyelesaian konflik, cara yang ditempuh adalah dengan mendominasi atau
menekan, berkompromi dan penyelesaian masalah secara integratif.
a. Dominasi (Penekanan)
Dominasi dan penekanan mempunyai
persamaan makna, yaitu keduanya menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan
memaksanya “tenggelam” ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang
menang dan yang kalah. Pihak yang kalah biasanya terpaksa memberikan jalan
kepada yang lebih tinggi kekuasaannya, menjadi kecewa dan dendam. Penekanan dan
dominasi bisa dinyatakan dalam bentuk pemaksaan sampai dengan pengambilan
keputusan dengan suara terbanyak (voting).
b. Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik (win-win solution). Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik (win-win solution). Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik
c. Penyelesaian secara integratif
Dengan menyelesaikan konflik secara
integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan
bersama yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah
(problem solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba
memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi.
Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya
sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang
sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.
Referensi
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html
http://reconia4training.wordpress.com/2012/01/27/manajemen-konflik/
Teori Organisasi 1
Referensi
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html
http://reconia4training.wordpress.com/2012/01/27/manajemen-konflik/
Teori Organisasi 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar